TUGAS
Pengantar ilmu pertanian _pemasaran_
Pengantar ilmu pertanian _pemasaran_
Oleh :
KELOMPOK 5
sugi nugroho
Anggun Pratizi Azwar
Chairani Aprilia
Desyifa Kamelia
Irma Septiani
Suslenri SY
Prodi : Agroekoteknologi A
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2012
Pengertian Pemasaran Pertanian
Pemasaran
adalah sejumlah kegiatan bisnis yang tujuan utamanya adalah untuk memberikan
kepuasan kepada konsumen dari barang atau jasa yang ditawarkan. Dengan harapan
barang atau jasa tersebut sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen.
Pemasaran
pertanian berarti kegiatan bisnis dimana menjual produk berupa komoditas
pertanian sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen, dengan harapan
konsumen akan puas dengan mengkonsumsi komoditas tersebut. Pemasaran pertanian
dapat mencakup perpindahan barang atau produk pertanian dari produsen kepada
konsumen akhir, baik input ataupun produk pertanian itu sendiri.
Ruang Lingkup Kegiatan Pemasaran
Ruang lingkup kegiatan pembangunan pengolahan dan
pemasaran hasil pertanian adalah : pembangunan sistem dan usaha-usaha di bidang
pengolahan hasil pertanian yang meliputi kegiatan-kegitan penanganan pasca
panen dan pengolahan untuk memproses produk segar/primer, produk setengah jadi,
produk olahan utama, produk ikutan dan produk limbah termasuk pengembangan mutu
dan sarana pengolahannya serta pembangunan pemasarannya baik untuk pasar
domestik maupun pasar internasional.
Manfaat
yang dapat diperoleh melalui Pembangunan Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian (Pembangunan PPHP) adalah : 1). terciptanya wawasan agribisnis
dan budaya industri pada masyarakat; 2). berkembangnya kegiatan sub-sistem
agribisnis hilir berupa aktifitas-aktifitas pasca panen, pengolahan, pemasaran
dan jasa; 3). tumbuhnya industri-industri di pedesaan; 4). berkembangnya
investasi di pedesaan; 5). meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani
melalui peningkatan produktivitas dan nilai tambah; 6). bertambahnya lapangan
pekerjaan baru; meningkatnya perolehan devisa bagi Negara; serta 8).
berkurangnya arus urbanisasi.
Pengembangan usaha tani dengan konsep usaha tani berbasis agribisnis, pada
penerapan atau operasionalisasinya di lapangan masih banyak mengalami
kendala. Kegiatan produksi usaha tani (on farm) yang dilakukan oleh
masyarakat kita sebagian besar bersifat sub sisten (hanya untuk mencukupi
kebutuhan sendiri) dan belum berorientasi pasar sehingga dengan demikian
Pembangunan PPHP terkendala.
Kebijakan
pengembangan agrobisnis diarahkan berorientasi pada kekuatan pasar (market
driven), pemilihan komoditi pertanian yang diusahakan petani hendaknya
memilih komoditas yang bernilai ekonomis.
Perilaku pedagang
Perdagangan merupakan sebuah konsep
perekonomian yang paling tua umurnya, dari zaman peradaban dahulu1 sampai saat
ini, perdagangan menjadi sentral perekonomian dunia. Perdagangan adalah
menawarkan produk yang kita punyai untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup,
baik untuk yang memproduksi maupun untuk para konsumen. Salah satu contoh
perdaganhan ialah pasar. Pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli
barang maupun jasa dengan adanya kesepakatan harga antara kedua belah pihak,
atau disebut transaksi.
Kegiatan perdagangan di Indonesia
masih berlangsung dalam budaya sosio-ekonomi yang berbentuk sistem “ekonomi
pasar tradisional” (Ramelan, 2002). Bahkan, dalam keadaan krisis yang sedang
kita alami, ekonomi pasar tradisional telah menunjukan ketahanannya. Dalam era
globalisasi ekonomi, ekonomi pasar tradisional masih menjadi andalan sistem
ekonomi kita. Namun demikian, saat ini kondisi pasar tradisional pada umumnya
memprihatinkan (Poesoro, 2007). Dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh
pasar modern, kini pasar tradisional semakin terancam keberadaannya.
Beberapa ciri pokok ekonomi tradisional adalah informal, kecil-kecilan dan keterlibatan perempuan. Perempuan merupakan pelaku yang banyak pada sektor tradisional atau informal. Masuknya perempuan dalam perdagangan, terutama pada skala kecil, menurut Abdullah (2001), disebabkan karena menyempitnya lahan pertanian di wilayah pedesaan sehingga perempuan tersingkir dari kegiatan pertanian yang dikuasai laki-laki.
Pelaku dalam perdagangan tidak hanya “pedagang” dalam arti orang yang membeli dan membayar suatu barang, lalu menjualnya pada kesempatan lain dengan mengambil untung dari kegiatannya tersebut. Selain pedagang, dalam sistem perdagangan terlibat juga para buruh yang membantu pedagang, pelaku transportasi, penyedia jasa dalam penimbangan, bongkar muat , dan lain-lain. Dalam satu jaringan tata niaga biasa dijumpai begitu banyaknya pedagang terlibat mulai pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, kemudian ke pedagang pengumpul yang lebih tinggi lagi sampai akhimya pada pedagang antar daerah, antar pulau atau eksportir. Pada daerah pemasaran, barang akan masih berpindah-pindah tangan lagi lebih dari satu kali, misalnya dari pedagang antar wilayah/pulau ke pedagang grosir (wholesaler) dan selanjutnya ke padagang pengecer (retailer).
Dalam menganalisis relasi dalam sebuah struktur perdagangan, biasanya bertolak dari “pedagang” (traders), yang merupakan pedagang besar, adakalanya disebut dengan bandar, yang menjadi pelaku dalam perdagangan antar wilayah, perdagangan antar pula, atau eksportir. Para pedagang yang menjadi pengirim barang ke “pedagang” disebut pemasok (supplier), yang dapat berupa pedagang komisioner, broker, maupun pedagang kaki tangan (lihat Syahyuti, 1998). Lalu, para pedagang yang menerima barang dari “pedagang” yaitu yang berada di wilayah pemasaran disebut dengan clients, pedagang pengecer (retailer) dan grosir (wholesaler) seperti halnya pedagang yang memiliki lapak di pasar induk misalnya.
Beberapa ciri pokok ekonomi tradisional adalah informal, kecil-kecilan dan keterlibatan perempuan. Perempuan merupakan pelaku yang banyak pada sektor tradisional atau informal. Masuknya perempuan dalam perdagangan, terutama pada skala kecil, menurut Abdullah (2001), disebabkan karena menyempitnya lahan pertanian di wilayah pedesaan sehingga perempuan tersingkir dari kegiatan pertanian yang dikuasai laki-laki.
Pelaku dalam perdagangan tidak hanya “pedagang” dalam arti orang yang membeli dan membayar suatu barang, lalu menjualnya pada kesempatan lain dengan mengambil untung dari kegiatannya tersebut. Selain pedagang, dalam sistem perdagangan terlibat juga para buruh yang membantu pedagang, pelaku transportasi, penyedia jasa dalam penimbangan, bongkar muat , dan lain-lain. Dalam satu jaringan tata niaga biasa dijumpai begitu banyaknya pedagang terlibat mulai pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, kemudian ke pedagang pengumpul yang lebih tinggi lagi sampai akhimya pada pedagang antar daerah, antar pulau atau eksportir. Pada daerah pemasaran, barang akan masih berpindah-pindah tangan lagi lebih dari satu kali, misalnya dari pedagang antar wilayah/pulau ke pedagang grosir (wholesaler) dan selanjutnya ke padagang pengecer (retailer).
Dalam menganalisis relasi dalam sebuah struktur perdagangan, biasanya bertolak dari “pedagang” (traders), yang merupakan pedagang besar, adakalanya disebut dengan bandar, yang menjadi pelaku dalam perdagangan antar wilayah, perdagangan antar pula, atau eksportir. Para pedagang yang menjadi pengirim barang ke “pedagang” disebut pemasok (supplier), yang dapat berupa pedagang komisioner, broker, maupun pedagang kaki tangan (lihat Syahyuti, 1998). Lalu, para pedagang yang menerima barang dari “pedagang” yaitu yang berada di wilayah pemasaran disebut dengan clients, pedagang pengecer (retailer) dan grosir (wholesaler) seperti halnya pedagang yang memiliki lapak di pasar induk misalnya.
Yang
membedakan pedagang dengan pedagang kaki tangan adalah, pedagang menyertakan
modalnya sendiri di dalam transaksi sementara pedagang kaki tangan memakai
modal orang lain, yaitu modal dari pedagang berikutnya (lebih di hilir) dalam
jalur tata niaga tersebut. Sementara pedagang komisioner selain tidak
menyertakan modal uangnya sendiri, juga tidak menetapkan harga, bahkan tidak
membayar apapun pada saat membeli. Pedagang biasa memiliki peran yang lebih
besar di dalam jaringan tata niaga, meskipun jumlahnya dalam satu sistem
jaringan tata niaga tidak banyak. Pedagang (traders) jenis ini memiliki
otoritas terhadap pembelian dan penentuan harga.
Perdagangan hasil-hasil pertanian, termasuk di Indonesia, secara umum bekerja dalam bentuk pasar yang tidak sempurna (imperfect markets). Ketidaksempurnaan tersebut diindikasikan oleh lemahnya kelembagaan pasar (poor market institutions) secara struktural dan kultural, biaya transaksi yang besar (high search costs) sehingga menjadi tidak efisien, dan struktur informasi yang tidak sempurna dan seimbang (imperfect and asymmetric information). Kelembagaan pasar yang lemah (poor market institutions) terlihat dari tiga hal, yaitu permodalan, kontrak dagang, dan asuransi.
Penggunaan kredit oleh pedagang sangat rendah dalam membantu aktifitasnya, karena pemerintah tidak menyediakan skim khusus. Meskipun pedagang dapat mengakses skim kredit umum, namun agunan (collateral) yang biasanya minim menjadi kendala. Menurut Poesoro (2007), faktor yang menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar tradisional adalah minimnya daya dukung untuk pedagang tradisional yakni strategi perencanaan yang kurang baik dan terbatasnya akses permodalan karena jaminan yang tidak mencukupi.
Pedagang biasanya memperoleh modal dari pedagang lain, yang sekaligus sebagai bukti diterimanya dirinya dalam struktur perdagangan tersebut. Jaringan neraca kredit yang kompleks dan bercabang-cabang adalah salah satu mekanisme yang mengikat bersama semua pedagang besar maupun kecil menjadi faktor integratif dalam pasar (Geertz, 1989). Perilaku berhutang tidaklah hanya untuk tujuan memperoleh modal, karena itu juga berarti suatu mekanisme untuk mendapatkan posisi dalam sistem jaringan tata niaga tersebut. Damanik (1983) juga menemukan bahwa blantik melakukan kerjasarna dengan pembeli melalui penentuan harga dan kerjasama modal. Demikian pula Sihite (1995) yang mendapatkan bahwa bantuan dana sesama pedagang adalah sumber modal utama bagi pedagang.
Perdagangan hasil-hasil pertanian, termasuk di Indonesia, secara umum bekerja dalam bentuk pasar yang tidak sempurna (imperfect markets). Ketidaksempurnaan tersebut diindikasikan oleh lemahnya kelembagaan pasar (poor market institutions) secara struktural dan kultural, biaya transaksi yang besar (high search costs) sehingga menjadi tidak efisien, dan struktur informasi yang tidak sempurna dan seimbang (imperfect and asymmetric information). Kelembagaan pasar yang lemah (poor market institutions) terlihat dari tiga hal, yaitu permodalan, kontrak dagang, dan asuransi.
Penggunaan kredit oleh pedagang sangat rendah dalam membantu aktifitasnya, karena pemerintah tidak menyediakan skim khusus. Meskipun pedagang dapat mengakses skim kredit umum, namun agunan (collateral) yang biasanya minim menjadi kendala. Menurut Poesoro (2007), faktor yang menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar tradisional adalah minimnya daya dukung untuk pedagang tradisional yakni strategi perencanaan yang kurang baik dan terbatasnya akses permodalan karena jaminan yang tidak mencukupi.
Pedagang biasanya memperoleh modal dari pedagang lain, yang sekaligus sebagai bukti diterimanya dirinya dalam struktur perdagangan tersebut. Jaringan neraca kredit yang kompleks dan bercabang-cabang adalah salah satu mekanisme yang mengikat bersama semua pedagang besar maupun kecil menjadi faktor integratif dalam pasar (Geertz, 1989). Perilaku berhutang tidaklah hanya untuk tujuan memperoleh modal, karena itu juga berarti suatu mekanisme untuk mendapatkan posisi dalam sistem jaringan tata niaga tersebut. Damanik (1983) juga menemukan bahwa blantik melakukan kerjasarna dengan pembeli melalui penentuan harga dan kerjasama modal. Demikian pula Sihite (1995) yang mendapatkan bahwa bantuan dana sesama pedagang adalah sumber modal utama bagi pedagang.
Perilaku Konsumen
Pengertian
perilaku konsumen menurut Shiffman dan Kanuk (2000) adalah “Consumer behavior
can be defined as the behavior that customer display in searching for,
purchasing, using, evaluating, and disposing of products, services, and ideas
they expect will satisfy they needs”. Pengertian tersebut berarti perilaku yang
diperhatikan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan
mengabaikan produk, jasa, atau ide yang diharapkan dapat memuaskan konsumen
untuk dapat memuaskan kebutuhannya dengan mengkonsumsi produk atau jasa yang
ditawarkan.
Selain itu perilku konsumen menurut Loudon
dan Della Bitta (1993) adalah: “Consumer behavior may be defined as the
decision process and physical activity individuals engage in when evaluating,
acquiring, using, or disposing of goods and services”. Dapat dijelaskan
perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik
individu-individu yang semuanya ini melibatkan individu dalam menilai,
mendapatkan, menggunakan, atau mengabaikan barang-barang dan jasa-jasa.Menurut Ebert dan Griffin (1995) consumer behavior dijelaskan sebagai: “the various facets of the decision of the decision process by which customers come to purchase and consume a product”. Dapat dijelaskan sebagai upaya konsumen untuk membuat keputusan tentang suatu produk yang dibeli dan dikonsumsi.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen
Berdasarkan landasan teori, ada dua faktor dasar yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
• Faktor eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang meliputi pengaruh keluarga, kelas sosial, kebudayaan, marketing strategy, dan kelompok referensi. Kelompok referensi merupakan kelompok yang memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung pada sikap dan prilaku konsumen. Kelompok referensi mempengaruhi perilaku seseorang dalam pembelian dan sering dijadikan pedoman oleh konsumen dalam bertingkah laku.
• Faktor internal
Faktor-faktor yang termasuk ke dalam faktor internal adalah motivasi, persepsi, sikap, gaya hidup, kepribadian dan belajar. Belajar menggambarkan perubahan dalam perilaku seseorang individu yang bersumber dari pengalaman. Seringkali perilaku manusia diperoleh dari mempelajari sesuatu.
Perilaku
konsumen di suatu kota dapat dianalisis
dengan mempelajari tentang pengertian perilaku konsumen dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Engel et al (1993), berpendapat bahwa perilaku konsumen
didefinisikan sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan,
mengkonsumsi, dan menghabiskan produk barang atau jasa termasuk proses
keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini. Jadi perilaku konsumen
pada hakekatnya adalah semua kegiatan, tindakan serta proses psikologis yang
mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli,
menggunakan, menghabiskan produk
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku konsumen didalam membeli produk antara lain adalah
faktor budaya, sosial, pribadi (perbedaan individu), psikologis dan strategi
pemasaran (Kotler, 1993 dan Engel et al, 1995).
1. Faktor Budaya
Budaya mempengaruhi penggerak yang dapat memotivasi orang
yang mengambil tindakan lebih jauh bahkan untuk motif-motif yang bermacam-macam
seperti kebebasan , kemampuan pendidikan, kegiarahan dll. Unsur-unsur yang
membentuk budaya antara lain adalah : tata-nilai (value), norma (Norms);
kebiasaan (customs); larangan (Mores); konventions (konvensi);
mitos dan symbol (Sumarwan, 2003).
Masyarakat moderen yang hidup di hampir semua negara memiliki
kesamaan budaya, yaitu budaya populer. Mowen dan Minor (1998) dalam
Sumarwan (2003) mengartikan budaya populer sebagai budaya masyarakat
banyak atau budaya yang diikuti dan mudah dipahami oleh sebagian besar anggota
masyarakat, mereka tidak memerlukan pengetahuan yang khusus untuk memahami
budaya populer tersebut.
2. Faktor Sosial
Menurut Kotler (1993), berpendapat bahwa perilaku konsumen
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial tertentu seperti kelompok referensi
(acuan), keluarga dan status sosial seorang konsumen. Istilah kelompok acuan (reference
group) diperkenalkan pertama kali oleh Hyman (1942), yang didefinisikan
sebagai “orang atau kelompok orang yang mempengaruhi secara bermakna
terhadap perilaku individu”.
3. Faktor Pribadi (Individu)
Keputusan pembelian demikian pula produk agribisnis
dipengaruhi juga oleh karakteristik/ciri-ciri pribadi konsumen. Menurut Kotler
(1993), Faktor Pribadi yang terutama berpengaruh adalah umur dan tahapan siklus
hidup pembeli, pekerjaannya, keadaan ekonominya, gaya hidupnya, pribadi dan
konsep jati dirinya.
4. Faktor Psikologi
Kotler (1993), berpendapat bahwa dalam membeli, seorang
konsumen (agribisnis) akan dipengaruhi empat faktor psikologis utama, yaitu motivasi,
persepsi, proses belajar, dan sikap-kepercayaan Dimensi-dimensi psikologi
meliputi motivasi, persepsi dan pengetahuan seseorang akan mempengaruhi
perilaku konsumen dalam pembelian produk agribisnis. Motivasi biologis
misalnya, yaitu seseorang mengkonsumsi produk agribisnis adalah untuk memenuhi
kebutuhan; memenuhi tujuan dan pengalaman memperoleh kesenangan. Persepsi
berkaitan dengan pandangan seseorang terhadap suatu produk baik yang tampak;
dirasakan maupun kandungannya. Sedangkan pengetahuan adalah menunjukkan
kemampuan /wawasan seseorang dalam menilai produk agribisnis yang akan
dibelinya.
Strategi Pemasaran
Strategi pemasaran adalah rancangan usaha untuk mencapai
tujuan / sasaran pemasaran yang antara lain dapat mempengaruhi konsumen untuk
membeli/ mengkonsumsi produk yang dipasarkan. Tujuan pemasaran antara lain
berupa menarik minat konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Selanjutnya
strategi dijabarkan ke dalam program khusus yang diterapkan secara efisien dan
diperbaiki jika gagal mencapai tujuan (Kotler, 1993). Kotler (1993), juga
mengemukakan bahwa strategi pemasaran secara umum lebih dikenal dengan bauran
pemasaran (marketing mix), yang lebih dikenal dengan 4 P (Product;
Price; Promotion; Place).
Sikap Konsumen
Menurut Mowen dan Minor (2002), mengemukakan bahwa sikap
sangat terkait dengan konsep kepercayaan (belief) dan perilaku (behavior).
Istilah pembentukan sikap konsumen (consumer attitude formation)
seringkali menggambarkan hubungan antara kepercayaan, sikap dan perilaku.
Kepercayaan, sikap dan perilaku juga terkait dengan konsep atribut produk (product
attribute). Atribut poduk adalah karakteristik dari suatu produk, konsumen
biasanya memiliki kepercayaan terhadap atribut produk. Jadi sikap terhadap
atribut produk, menggambarkan perilaku/ selera konsumen terhadap produk itu.
Dalam menentukan pilihan terhadap produk, kriteria pemilihan
konsumen dipengaruhi oleh atribut-atribut yang melekat pada produk tersebut,
model ini sering disebut dengan Model Sikap Multiatribut. Model ini
diawali oleh pendapat Lancaster (1966) dalam Colman dan Young (1992), bahwa
dengan analisis atribut dapat digunakan untuk mengetahui perilaku konsumen,
yang menyatakan bahwa konsumen menderive utilitasnya bukan dari produk yang
dikonsumsi tetapi dari karakteristik atau atribut yang ada pada produk
tersebut.
Multiatribut produk agribisnis dapat dilihat berdasarkan
‘kriteria mutu’ produk agribisnis (misalnya : buah) seperti yang dikemukakan
oleh Poerwanto, Susanto dan Setyati (2002), meliputi :1. Mutu visual atau
penampakan, 2. Moutfeel (rasa di mulut), 3. Nilai Gizi & Zat
Berkhasiat (mutu fungsional), 4. Keamanan konsumsi, 5. Kemudahan
penanganan, dan 6. Sifat mutu lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar